Kisah Keimanan Khalid bin Said, Sahabat Nabi yang Setia pada Islam
- Home
- Kisah Keimanan Khalid bin Said, Sahabat Nabi yang Setia pada Islam

Kisah Keimanan Khalid bin Said, Sahabat Nabi yang Setia pada Islam
Kisah Keimanan Khalid bin Said, Sahabat Nabi yang Setia pada Islam Dalam sejarah Islam yang panjang dan sarat makna, nama Khalid bin Said bin Al-‘Ash mungkin tidak setenar Abu Bakar atau Umar bin Khattab. Namun, di balik ketenangan sosoknya, tersimpan kisah keimanan yang menggugah hati, tentang seorang bangsawan muda Quraisy yang rela menentang keluarganya sendiri demi mempertahankan keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya. Khalid bin Said Kisah ini menjadi refleksi betapa mahal harga iman di masa awal dakwah Rasulullah di Makkah, di mana keyakinan sering kali harus ditebus dengan darah dan air mata.
Awal Pertemuan dengan Kebenaran
Khalid bin Said berasal dari keluarga terhormat Quraisy, putra dari Said bin Al-‘Ash, salah satu tokoh berpengaruh di Makkah yang dikenal sangat keras menentang Islam. Hidupnya bergelimang harta dan kekuasaan, dan tak ada alasan baginya untuk meninggalkan kenyamanan duniawi. Namun, Allah memilihnya untuk menerima hidayah lebih awal dibanding banyak bangsawan Quraisy lain.
Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa Khalid bermimpi melihat dirinya berdiri di tepi jurang api yang sangat besar. Tiba-tiba, Rasulullah datang menariknya dari kobaran api itu dan menyelamatkannya. Mimpi itu membekas begitu dalam hingga ia mendatangi Nabi Muhammad di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam.
Begitu bertemu, Khalid langsung menyampaikan mimpinya kepada Rasulullah. Nabi tersenyum dan bersabda bahwa mimpi itu adalah pertanda hidayah dari Allah. Tanpa ragu, Khalid pun mengucapkan syahadat dan menjadi salah satu dari kelompok kecil orang yang memeluk Islam di masa-masa penuh tekanan itu.
“Hidayah datang tidak selalu lewat logika, kadang ia mengetuk lewat mimpi yang membuat hati tak bisa lagi berpaling.”
Konflik dengan Keluarga dan Cobaan Keimanan
Keputusan Khalid untuk memeluk Islam segera diketahui ayahnya, Said bin Al-‘Ash. Murka besar pun meledak di rumah bangsawan Quraisy itu. Bagi mereka, menerima Islam berarti menentang tradisi leluhur dan mencoreng kehormatan keluarga.
Said memanggil Khalid dan berkata dengan nada mengancam, “Apakah engkau sudah meninggalkan agama nenek moyangmu?”
Khalid menjawab dengan tenang namun tegas, “Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Jawaban itu membuat ayahnya naik pitam. Dalam riwayat disebutkan, Said memukul putranya dengan keras hingga berdarah dan mengurungnya selama beberapa hari. Namun, Khalid tidak bergeming. Ia memilih bertahan dalam keyakinannya meski tubuhnya disiksa oleh darah dagingnya sendiri.
Beberapa sahabat Rasulullah yang mengetahui kisahnya menyebut Khalid sebagai salah satu pemuda paling berani di masa awal dakwah Islam. Di tengah tekanan mental dan sosial yang luar biasa, ia menunjukkan keteguhan hati yang jarang dimiliki orang pada masanya.
“Beriman di tengah dukungan banyak orang itu mudah, tapi beriman saat seluruh dunia menentangmu, itulah keberanian sejati.”
Hijrah dan Peran di Awal Dakwah
Ketika tekanan dari kaum Quraisy semakin keras, Rasulullah memberikan izin kepada para pengikutnya untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Khalid bin Said termasuk di antara mereka yang pertama kali berangkat meninggalkan Makkah menuju negeri seberang laut itu. Ia membawa serta istrinya, Umayyah binti Khalaf, untuk mencari perlindungan di bawah raja Najasyi yang dikenal adil dan melindungi kaum beriman.
Di Habasyah, Khalid menjadi salah satu juru bicara yang membela Islam ketika rombongan Quraisy datang untuk menuntut agar para muhajirin dikembalikan. Ketika Ja’far bin Abi Thalib membacakan ayat-ayat dari Surah Maryam, Khalid berdiri di belakangnya, menyaksikan raja Najasyi meneteskan air mata karena tersentuh kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an.
Setelah beberapa tahun di Habasyah, Khalid kembali ke Makkah dan melanjutkan perjuangannya bersama Rasulullah. Ia menjadi bagian dari lingkaran sahabat yang selalu siap di barisan depan dakwah.
Pengabdian di Masa Rasulullah
Khalid bin Said tercatat ikut dalam berbagai misi penting setelah hijrah ke Madinah. Ia ikut dalam beberapa pertempuran besar, termasuk Badar dan Uhud, meski tidak setenar para sahabat yang menjadi panglima. Namun yang membuatnya berbeda adalah kesetiaannya pada amanah Nabi Muhammad.
Suatu hari, Rasulullah menugaskannya untuk memimpin pasukan di wilayah tertentu di Yaman. Meski tugas itu berat, Khalid menerima dengan penuh tanggung jawab. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Islam berhasil memperkuat posisi dakwah dan memperluas wilayah kekuasaan dengan cara yang damai.
Dalam catatan sejarah, Rasulullah sangat mempercayai Khalid dalam urusan administrasi dan militer. Ia dikenal tegas, jujur, dan berwibawa di hadapan pasukannya.
“Khalid bin Said adalah bukti bahwa pemimpin sejati bukan diukur dari seberapa keras suaranya, tetapi seberapa teguh hatinya menjaga amanah.”
Ujian Setelah Wafatnya Rasulullah
Setelah Rasulullah wafat, masa sulit datang bagi banyak sahabat. Umat Islam terpecah dalam urusan baiat dan kepemimpinan. Dalam situasi ini, Khalid sempat mengambil sikap hati-hati dan tidak langsung berbaiat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun setelah melihat kejelasan dan kesatuan umat, ia pun menyatakan kesetiaan dan bergabung dalam barisan pasukan khalifah pertama itu.
Khalid diutus oleh Abu Bakar untuk bergabung dalam perang melawan pasukan murtad dan pemberontak di Semenanjung Arab. Ia kembali menunjukkan keberaniannya di medan pertempuran, bertempur di garis depan dengan semangat jihad yang sama seperti di masa Rasulullah.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Khalid wafat sebagai syahid di medan perang saat berjuang di wilayah Syam (Suriah sekarang). Namun sumber lain menyebut ia meninggal di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Terlepas dari versi mana yang benar, yang pasti namanya tercatat sebagai salah satu sahabat yang meninggalkan warisan iman luar biasa.
Nilai dan Teladan dari Keimanan Khalid bin Said
Kisah Khalid bin Said adalah pelajaran tentang keimanan yang tak tergoyahkan di tengah badai dunia. Ia bukan sahabat paling terkenal, namun ketulusannya dalam berjuang dan ketaatannya pada wahyu menjadikannya contoh bagi siapa pun yang beriman di tengah godaan zaman.
Ketika banyak orang mencari pembenaran untuk berkompromi dengan keadaan, Khalid justru memilih mempertaruhkan kenyamanan hidup demi keyakinan. Di masa modern, kisah seperti ini mengingatkan kita bahwa iman bukan sekadar ucapan, melainkan keberanian untuk memilih jalan yang sulit, bahkan ketika seluruh dunia menertawakan kita.
“Kadang, keimanan bukan diuji dengan pedang, tapi dengan kesetiaan pada kebenaran di saat semua orang menyerah.”
Sosok yang Tersembunyi tapi Dikenang Langit
Khalid bin Said mungkin bukan tokoh yang sering dibahas di mimbar atau buku sejarah populer, tetapi jejaknya tetap abadi dalam lembar keimanan umat Islam. Ia adalah salah satu dari generasi awal yang menanggung beban paling berat dari dakwah Islam, saat Islam belum dikenal dan umat Muslim belum memiliki kekuatan politik apa pun.
Ia mewakili wajah Islam yang tulus, jujur, dan penuh pengorbanan. Tanpa sosok seperti Khalid, fondasi iman umat Islam mungkin tidak akan sekuat sekarang. Ia membuktikan bahwa keagungan seseorang tidak selalu diukur dari seberapa besar namanya dikenal, tetapi dari seberapa dalam keikhlasannya berjuang di jalan Allah.
Dalam setiap zaman, selalu ada orang seperti Khalid bin Said — orang yang mungkin tak terlihat di panggung besar sejarah, tapi menjadi pilar tak tergantikan dalam membangun kejayaan iman.
“Dunia boleh lupa pada nama-nama kecil, tapi langit tak pernah lupa pada mereka yang berjuang dalam diam.”
Perjalanan Iman yang Tak Pernah Padam
Kisah Khalid bin Said adalah bukti bahwa iman sejati tumbuh bukan dari kemewahan, melainkan dari keberanian untuk kehilangan segalanya demi kebenaran. Ia menolak tunduk pada ayahnya yang kaya dan berkuasa, menanggung siksaan, hidup dalam pengasingan, dan akhirnya mengorbankan nyawanya di medan perang.
Dalam setiap tahap hidupnya, ada satu benang merah: kesetiaan pada kalimat tauhid. Itulah yang membuat namanya abadi di antara para sahabat Rasulullah.
Khalid bin Said mengajarkan kepada kita bahwa menjadi beriman bukan berarti hidup tanpa penderitaan, tetapi justru berani berjalan di tengah penderitaan dengan kepala tegak dan hati yakin.
- Share