Poligami dalam Islam: Antara Syariat, Etika, dan Realitas Sosial
- Home
- Poligami dalam Islam: Antara Syariat, Etika, dan Realitas Sosial

Poligami dalam Islam: Antara Syariat, Etika, dan Realitas Sosial
Poligami dalam Islam adalah salah satu topik yang selalu mengundang perdebatan hangat di masyarakat. Di satu sisi, poligami dianggap sebagai bagian dari syariat yang sah dan telah diatur dalam Al-Qur’an. Namun di sisi lain, praktiknya seringkali menimbulkan kontroversi, baik dari segi etika, keadilan, hingga dampak sosial dalam kehidupan rumah tangga.
Artikel ini mengupas secara mendalam konsep poligami dalam Islam, dasar hukumnya, syarat-syaratnya, serta bagaimana praktik tersebut dijalankan dalam kehidupan nyata. Tidak hanya berdasarkan dalil keagamaan, kita juga akan melihat bagaimana poligami dikaji dari sisi psikologis dan sosial di masyarakat muslim modern.
Pengertian Poligami dalam Islam

Poligami secara bahasa berasal dari Bahasa Yunani “polygamia” yang berarti memiliki banyak pasangan. Dalam konteks Islam, poligami yang dibolehkan adalah poligini, yaitu seorang pria menikah dengan lebih dari satu istri dalam waktu bersamaan.
Dalam hukum Islam, poligami dibatasi hingga empat istri dengan catatan sangat ketat, terutama soal keadilan. Hal ini diatur secara langsung dalam Al-Qur’an dan tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan sosial masyarakat Arab saat itu.
Dalil Poligami dalam Al-Qur’an

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”
(QS. An-Nisa: 3)
Ayat ini menjadi dasar utama dibolehkannya poligami dalam Islam. Namun perlu digarisbawahi, Allah SWT menyertakan syarat tegas: keadilan. Jika seorang pria merasa tidak mampu berlaku adil, maka disarankan menikahi satu istri saja.
Hadis Tentang Poligami
Dalam berbagai hadis, Rasulullah SAW juga memberikan teladan soal pernikahan. Meski beliau memiliki lebih dari satu istri, pernikahan-pernikahan tersebut terjadi setelah wafatnya istri pertama beliau, Khadijah binti Khuwailid.
Rasulullah SAW menikahi beberapa perempuan dalam rangka misi sosial dan perlindungan, bukan semata-mata syahwat. Misalnya, pernikahan dengan Juwairiyah binti al-Harits membawa kebaikan kepada suku beliau yang saat itu menjadi tawanan perang.
Syarat Poligami dalam Islam
Tidak sembarang laki-laki muslim bisa melakukan poligami. Ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi:
- Mampu Berlaku Adil Secara Materi dan Perasaan
- Memberi nafkah yang sama rata
- Tidak menunjukkan perlakuan yang timpang secara emosional
- Istri Pertama Harus Diberi Tahu
- Meski tidak wajib meminta izin secara hukum fikih, tetapi menyembunyikan pernikahan kedua termasuk tindakan tidak jujur
- Mampu Menafkahi Seluruh Istri dan Anak
- Tidak boleh menelantarkan salah satu istri
- Harus adil dalam tempat tinggal, waktu, dan fasilitas
- Tidak Menyakiti atau Merugikan Salah Satu Pihak
- Jika menyebabkan penderitaan pada istri atau anak, maka poligami menjadi sesuatu yang tercela
Poligami dalam Perspektif Ulama
Ulama yang Membolehkan

Mayoritas ulama dari mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) menyepakati bahwa poligami adalah mubah (boleh), bukan wajib dan bukan sunnah. Hukumnya bisa menjadi haram jika seseorang melakukannya tanpa bisa memenuhi syarat keadilan.
Ulama Kontemporer yang Mengkritisi

Beberapa ulama dan cendekiawan Muslim kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menyatakan bahwa poligami sebaiknya dihindari, kecuali dalam kondisi sosial tertentu (misalnya: istri sakit keras, tidak bisa memiliki keturunan, dll). Baca juga tentang Tugas dan Peran Istri dalam Rumah Tangga dalam Islam.
Poligami di Negara-Negara Muslim
Negara | Status Hukum Poligami |
---|---|
Arab Saudi | Diperbolehkan secara luas |
Indonesia | Diperbolehkan dengan izin istri pertama dan pengadilan |
Malaysia | Diperbolehkan dengan persetujuan dan batas syarat ekonomi |
Tunisia | Dilarang secara hukum positif |
Turki | Dilarang oleh hukum sipil |
Mesir | Diperbolehkan namun diawasi ketat |
Realita Sosial: Poligami di Indonesia
Di Indonesia, poligami sering dikaitkan dengan kontroversi. Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang pria hanya bisa beristri lebih dari satu dengan izin dari pengadilan agama, dan persetujuan dari istri pertama.
Meskipun demikian, praktik poligami sering dilakukan secara diam-diam tanpa izin resmi, yang kemudian menimbulkan konflik rumah tangga, perpecahan, bahkan kasus hukum.
Kasus poligami di kalangan tokoh publik juga sering menjadi konsumsi media, baik dari kalangan ustaz, pejabat, hingga artis. Hal ini menimbulkan pro dan kontra yang tajam di masyarakat.
Dampak Poligami: Positif dan Negatif
Dampak Positif (dalam kondisi ideal):
- Menjadi solusi sosial jika istri mengalami sakit permanen atau mandul
- Menyelamatkan janda atau perempuan rentan secara ekonomi
- Memberi perlindungan legal bagi hubungan yang sudah terjalin
Dampak Negatif (jika tidak dilakukan secara adil):
- Timbul konflik rumah tangga dan persaingan antar istri
- Ketimpangan ekonomi dalam membiayai keluarga
- Trauma psikologis pada anak-anak
- Stigma dan tekanan sosial pada pihak istri pertama
Perspektif Perempuan dalam Poligami
Salah satu tantangan terbesar dalam poligami adalah keadilan emosional yang nyaris mustahil dipenuhi. Banyak perempuan muslim modern menolak poligami dengan alasan:
- Kehilangan rasa aman dalam rumah tangga
- Rasa cemburu yang wajar sebagai manusia
- Ketidakmampuan suami untuk berlaku adil secara jujur
Sementara sebagian lainnya menerima dengan syarat tertentu, terutama bila dilakukan secara transparan dan dengan alasan jelas.
Poligami dalam Islam Bukan Kewajiban, Tapi Amanah Berat
Poligami dalam Islam memang dibolehkan secara syariat, namun dengan syarat-syarat yang sangat berat. Islam tidak mendorong poligami sebagai standar, tetapi sebagai bentuk solusi sosial pada kondisi tertentu.
Bagi yang memilih jalan ini, kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan harus menjadi prioritas utama. Sebaliknya, bagi yang tidak sanggup, Allah telah menegaskan: “maka (nikahilah) satu saja, itu lebih baik agar kamu tidak berlaku zalim.”
- Share